Syeik
Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah
adalah salah satu Ulama’ yang paling mantap, hebat, dan disegani seantero bumi.
Beliau sosok panutan yang zuhud, tawadhu’, kedalaman ilmu dan akurasi fatwa
beliau sangat layak dijadikan referensi yang mautsuq (terpercaya). Nah, ini adalah petikan wawancara dengan
beliau yang dilakukan majalah Al Ishlah,
dari Uni Eminat Arab, yang diterjemahkan oleh Salahhudin AR tahun 1993. Dari
wawancara tersebut ada banyak pertanyaan, ini yang saya cuplik yang berkaitan /
senada dengan dakwah politik. Berikutnya majalah Al Ishlah ditulis Ishlah, Syeik Abdul Aziz bin Baz ditulis Bin Bazz.
Ishlah : Banyak diantara penuntut ilmu yang bertanya
tentang hukum masuknya da’i dan Ulama’ di Majelis Perwakilan Rakyat dan
Parlemen serta partisipasi mereka dalam pemilu yang diadakan oleh negara –
negara yang memerintah tidak dengan syari’at Islam. Apa yang menjadi standar
dan pedoman dalam hal itu?
Bin Bazz : Masuknya mereka ke dalam parlemen sangat penting,
jika mereka memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dan bashiroh (ketajaman mata
hati), dengan niat membela kebenaran dan mengarahkan manusa kepada kebenaran serta
mencabut akar – akar kebathilan. Jadi bukan karena mengharapkan kehidupan dunia
dan kelezatan hidup, tetapi karena ingin menolong agama Allah dan berjihad di
jalan kebenaran.
Dengan
niat yang baik dan mulia ini, saya melihat tidak ada salahnya mereka berperan
aktif dalam parlemen, agar anggota dan majelis – majelis itu tidak kosong dari
kebaikan – kebaikan. Bila mereka berbuat tulus untuk menumbuh suburkan dan
membela kebenaran dan membasmi kebathilan, maka Insya Allah, Allah akan memberi
ganjaran pahala dan agar syari’at Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan
kita sehari-hari.
Namun
jika ambisinya mengharap dunia dan jabatan, maka hal itu dilarang. Jadi harus
ikhlas mengharap rahmat Allah dan kehidupan akhirat, serta berkeinginan untuk
membela dan menjelaskan kebenaran dengan argument-argumen yang handal agar
majelis tersebut dapat kembali kepada kebenaran.
……………………………………………………
Ishlah : Kapankan sebuah nasihat menjadi rahasia
(sembunyi-sembunyi) dan kapan dilakukan secara terang-terangan? Hafazhakumullah (semoga Allah menjagamu)
ya syeikh..
Bin Bazz : Pemberi nasihat harus member yang terbaik. Jika
ia melihat bahwa pemberian nasihat secara sembunyi – sembunyi lebih bermanfaat,
maka hendaklah ia melakukan dengan sembunyi – sembunyi. Apabila ia melihat
pemberian nasihat dengan terang – terangan lebih baik, maka hendaklah ia
melakukan dengan terang – terangan.
Apabila
ia melihat saudaranya melakukan dosa ditempat yang tidak diketahui public, maka
lebih baik ia menasihati saudaranya secara 4 mata dan tidak menyebarkan atau
mengumumkan perbuatan dosa tersebut. Adapun jika perbuatan dosa tersebut
diketahui dan disaksikan public, misal di suatu pertemuan seseorang minum atau
mengajak minum khamr, atau mengajak kepada riba dengan terang – terangan dan
dia sendiri hadir dalam pertemuan tersebut, maka hendaknya dia mencegahnya dan
mengatakan, “Wahai saudaraku ini tidak boleh dilakukan.” Bila engau diam, tidak
menegur, berarti engkau telah melegalisir kebathilan. Jadi apabila anda di
suatu majelis pertemuan dan nampak kemungkaran – kemungkaran seperti khamr,
ghibah, dan sebagaina, sedang anda memiliki ilmu dan kemampuan, maka hendaknya
anda mencegahnya karena ini adalah kemungkaran yang nyata, jangan diam sajo,
ini dalam rangka menjelaskan dan mengajak kepada kebenaran.
……………………………………………………
Ishlah : Haruskah para Ulama’ dan da’i beramar ma’ruf nahi
mungkar dalam bidang politik dan apa yang harus diperhatikan untuk itu?
Bin Baz : Dakwah kepada Allah merupakan sesuatu yang mutlak
ada di setiap tempat, demikian pula dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Tetapi
seperti yang pernah saya jelaskan sebelumnya, yaitu harus dilakukan dengan
bijaksana, memakai ushlub yang baik, retorika yang jelas, tidak dengan
kekerasan, cacian, dan pemaksaan.
Menyeru
kepada Allah di Majelis Perwakilan rakyat, di masjid, di masyarakat, menyeru
kepada Allah dan mengajar manusia kepada kebaikan jika ia memiliki ilmu pengetahuan
dan bashiroh, dengan kata – kata manis, misal “Wahai Abdullah perbuatanmu itu tidak
boleh..semoga Allah memberimu petunjuk.” “Wahai akhi, ini tidak boleh, Allah
berfirman begini..Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda begini..”
Dalam
hal ini Allah berfirman, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik.” (An Nahl :
25)
Inilah
jalan dan arahan dari Allah. Firman-Nya yang lain : “Maka disebabkan rahmat
Allah lah kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari
sekelilngmu.” (Ali Imran : 159)
Dan
tidak dapat mengadakan perubahan dengan tangannya, kecuali sebatas kemampuannya,
misalnya perubahan terhadap isteri dan anak-anaknya jika ia sanggup akan hal
itu. Demikian pula dengan seseorang yang memiliki kebaikan dan wibawa di tengah
masyarakat, sanggup melakukan perubahan. Dan bila tidak memiliki wibawa, maka
hal itu diserahkan kepada yang berwenang untuk menangani dan mencegah kemungkaran dengan cara-cara yang
baik.
……………………………………………………
Tahun
2014 nanti, akan ada momen Pemilihan Umum. Di momen ini maupun
sebelum-sebelumnya, telah aktif berkontribusi partai-partai dakwah. Keberadaan
mereka semoga menjadi angin segar untuk negeri kita tercinta. Kita sebagai
penonton tidak bisa memaksakan kehendak dengan idealisme tinggi, bahwa mereka
(partai dakwah) harus mampu membuat Indonesia adil, makmur, bahagia, kaya
semua, cerdas semua, intinya dunia bagaikan surga rasanya. Memberikan masukan
dan kritikan memang perlu, bahkan ini kebutuhan. Namun, kita perlu sadar untuk
mewujudkan idealisme tersebut dibutuhkan ikhtiar tingkat tinggi, di mana hal
ini kita serahkan kepada aktifis dakwah di parlemen.
Kita
tidak boleh berfikir seolah – oleh semua harus baik secara ujug – ujug (tiba-tiba). Menjadikan bangsa kita (dengan segala kekurangannya)
baik dan sejahtera tentu butuh proses yang tak mudah, tak pendek, dan tak
murah. Kita sebagai penonton, andil kita adalah mendukung, mendo’akan,
menyemangati, menasihati mereka di kala mereka khilaf. Dan peran-peran lain
(seperti pembinaan) yang tak bisa semua saya tulis.
Memang
ada perbedaan, Syeikh bin Bazz mendukung dakwan parlemen, pun demikian Syeikh
Yusuf Qardhawi dan Aidh Al Qarni, dan beberapa Ulama’ lain. Sebagian lain
menolak berdakwah lewat parlemen, seperti Hizbut Tahrir. Untuk Salafy
belakangan ini mereka turut serta di Mesir, lewat Partai An Nur. Semoga Allah
memudahkan ikhtiar mereka…
Perbedaan
ini bukan untuk kita pertentangkan, apalagi sampai perang urat syaraf. Bukanlah
akhlaq aktifis dakwah yang berta’ashub tinggi terhadap jama’ahnya, cukuplah
fanatik kita terhadap Islam menjadi kekuatan utama kita. Tapi ya, sesekali
debat kusir bisa dimaklumi, namanya juga anak muda, hehe
Menurut
saya perbedaan ini hanya dalam ruang lingkup cara penegakan syari’ah. Sedangkan
untuk konsep syariah dalam Negara sdah ada banyak literatur, selain yang dibuat
An Nabhani, ada Al Ahkam Ash Shultoniyah by Imam Al Mawardi, Al Ahkam Ash
Shultoniyah by Abu Ya’la, Siyasah Syar’iyyah by Imam Ibnu Taimiyah, Siyasah
Syar’iyyah by Syeikh Al Utsaimin, dan mungkin ada yg lain.
Cara
kita menyikapi perbedaan ini adalah, kita fokus pada ijtihad kita, tanpa kita
melemahkan, memojokkan, apalagi menuduh jama’ah lain telah inkaru sunnah. Semakin kita keras melemahkan saudara kita, akan
semakin banyak yang antipati dg kita. Jika kita hendak menasihati, kita sebisa
mungkin menggunakan bahasa yang santun dan lemah lembut, seperti nasihat Syeikh
bin Bazz di atas. Menolaknya seseorang atas masukan kita mungkin bukan karena
isinya, sungguh isinya sejatinya sangat baik, namun penolakan itu berasal dari
cara penyampaian kita yang kurang ahsan. Memang kita bisa menclaim bahwa itu
nasihat, namun Allah telah menganugerahkan kita hati nurani untuk merasakan
mana kata-kata yang sekiranya menyakiti, mana kata-kata yang mudah diterima.
Terlalu banyak kisah dalam Siroh Nabawiyah maupun Siroh Sahabat, beberapa kamu
musyrik masuk Islam bukan karena ceramahnya Nabi dan sahabat, bukan lewat
dalil-dalil, juga bukan dari perdebatan, namun lewat akhlaqul karimah.
Ikhwahfillah,
saya cukupkan sampai di sini, afwan pembahasannya kurang tajam.
Yang lebih mantep bisa baca buku Geliat Partai Dakwah by Akmal Sjafril.
Jazakumullah
khairan katsir…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar