Rabu, 09 Mei 2012

Aku Mencintaimu Sahabatku......Part 1


Teeet… Teeeeet… Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi, para siswa berbondong-bondong keluar kelas untuk kembali beraktifitas usai kegiatan belajar mengajar di sekolah. Mayoritas dari mereka tidak langsung pulang, ada yang ke kantin untuk mengisi perut, ada yang nongkrong di depan kelas, bahkan ada yang berduaan di taman, biasa anak muda. Ada sekelompok siswi yang berjilbab lebar berbondong-bondong ke masjid, sepertinya akan ada ta’lim siang ini. Ada juga beberapa siswa yang masih di kelas untuk mendiskusikan kembali pelajaran yang telah diajarkan gurunya hari ini… Begitulah kehidupan siswa-siswa MAN 3 Kediri.
Di sudut lain di sekolah ini, tepatnya di selatan masjid, tampak bangunan yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang gemar rapat, diskusi, bikin agenda, dll. Bangunan itu menjadi base camp atau sekretariat organisasi-organisasi di sekolah. Di situ lah para aktifis organisasi berkumpul. Ruangan paling pojok timur dari sekretariat adalah Sanggar Pramuka. Kawan, di sanggar inilah cerita ini dimulai…
Satu setengah jam telah berlalu, 10 menit lagi gema adzan ashar akan tiba.. “Hmm, baiklah teman-teman, insya Allah apapun yang terjadi pada kita Allah sudah memberikan hikmah, baik kita sadari maupun tidak. Karena ini mau ashar, kita akhiri rapat hari ini dengan bacaan Hamdalah bersama-sama.” Ucap Ihsan, ketua Pramuka MAN 3 Kediri.
Tampak ekspresi yang berbeda-beda dari tiap peserta rapat di sanggar itu. Yang paling emosi tentunya, Tyo. Dia adalah anggota pramuka yang paling temperament. “Kok bisa, organisasi apaan ni. Masak rapat sepenting ini isinya curhat doang. Kalo bukan karena paksaan ibu saya, saya udah keluar dari pramuka sejak  dulu.” Tyo marah-marah tidak jelas di depan sanggar. Aris yang berdiri di sampingnya menyahut. “Tyo, coba duduk dulu.” Tyo yang diminta duduk malah menatap Aris dengan tajam. Sambil senyum Aris kembali mengingatkan, “Duduklah dulu, insya Allah kamu bisa tenang kalau duduk.” Setelah Tyo duduk, barulah dia merasa sedikit lega. Ternyata benar sabda Rosulullah, “Apabila salah seorang diantara kalian marah sedangkan ia dalam posisi berdiri, maka hendaklah ia duduk…”
Ihsan pun menghampiri Tyo yang kelihatan masih menahan amarah. “Tyo, ada yang mau kamu sampaikan? Sampaikan saja, insya Allah tidak akan ada yang mempermasalahkan. Apakah kamu belum puas dengan hasil rapat tadi?”
“San, kamu sih jadi pemimpin gak tegas. Terlalu toleran. Masak kegiatan kemah gedhe gitu panitia yang bisa datang cuma 8 orang. Jangan main-main dong, apa kata adek kelas kalau kakaknya tidak karuan begini.” Ihsan merangkul pundak temanya itu, “Tyo, saya mengerti perasaanmu. Kamu adalah salah satu partnerku di Pramuka yang paling baik, kamu juga yang dulu selalu mendampingiku saat awal saya belajar pramuka. Saya baru kenal pramuka saat di MAN ini sedangkan kamu sejak SD sudah dididik ibumu yang Pembina Pramuka di SD kamu. Melihat tekadmu di pramuka yang seperti itu, seandainya sekarang saya diposisi kamu mungkin saya juga akan merasakan hal yang sama. Tidak disiplin, tidak komitmen, seolah-olah organisasi cuma buat numpang nama saja. Tapi apakah dengan marah tiba-tiba mereka datang begitu saja, apakah dengan kamu marah tiba-tiba masalah bisa selesai. Saya sudah usahakan dan sampai H-1 pun saya akan tetap usahakan agar banyak yang hadir. Kan anggota panitia kita cuma 11 orang. Tadi waktu rapat yang fiks tidak hadir cuma Hasan, Andi, dan Betty, yang 8 orang lain insya Allah bisa.”
“Tapi San, mohon maaf sebelumnya, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormatku kepadamu sebagai pemimpinku. Coba kamu ingat lagi San, syar’i gak alasan 3 orang tadi. Si Hasan, Amel, dan Betty.”
“Lha menurut kamu, alasan mereka tadi syar’i gak?” Ihsan bertanya balik.
“Menurutku sih Hasan dan Betty tu kurang syar’i. mereka terlalu membesarkan masalah aja.”
Rita yang mendengat percakapan mereka jadi ikut panas, ”Udahlah San, ndak usah kamu ladeni si Tyo ini. Bikin keruh aja persahabatan kita nanti. Dan kau Tyo, kalau kamu memang gak terima yang ngomong aja langsung ke mereka bertiga. Jadi cowok yang gentle dong!”
“Apaan kamu Rit, jangan bikin saya tambah emosi!” Tyo kelihatan semakin merah mukanya.
“Emang kenapa Tyo, kamu mutung, mau ikut-ikutan gak ikut. Ya udah gak usah ikut, gak ada kamu malah seneng saya.” Rita pun semakin emosi.
“KAMU NANTANGIN SAYA!!!” Tyo marah sambil berdiri dan hendak mendatangi Rita.
“Astaghfirullahal ‘adhiim. Tyo, istighfar Tyo. Kamu jangan kasar begitu ke perempuan. Jangan sampai amarahmu membuat harga dirimu sebagai laki- laki hilang.” Jamil mengingatkan dengan agak keras.
“Heh, Tyo. Gila kamu, masak ngajak Rita berantem, dia cewek bro. Kalau mau berantem ngajak genderuwo sana di sawah banyak.” Fauzi yang melihat kejadian itu ikut melerai mereka.
“Rit, kamu itu lho, jangan membuat Tyo tambah marah begitu.”  Sahut Amel sambil mendorong Rita menjauh dari Tyo.
Suasana menjadi semakin kacau di antara mereka. Padahal acara Penerimaan Anggota Baru (PAB) Pramuka tinggal 8 hari lagi. Dana belum cair, tempat yang rencananya di Buper Gunung Klothok masih belum fiks, bakti sosial belum dapat bibit, dan PR yang menumpuk lain. Pun demikian dengan sdm, acara yang dihadiri 200 siswa tahun pertama itu sejatinya butuh banyak panitia, tetapi menjelang hari-H ada 3 orang panitia yang ijin tidak datang.
Mendengar mereka berdua ngobrol, Ana selaku Ketua Putri Pramuka ikut membantu Ihsan menjelaskan ke Tyo. “Tyo, kenapa kamu merasa alasan Hasan dan Betty tidak syar’i. Bukankan mereka tadi sudah mengemukakan udzur mereka dengan jelas. Hasan, adik perempuannya, Aisyah, sedang sakit keras di RS Bhayangkara. Kamu tahu kan hubungan antara Hasan dan Aisyah sangat dekat. Betty, dia mau mengejar cita-citanya. Dia harus berangkat ke Surabaya untuk mewakili MAN dalam Olimpiade Sains bidang Akuntansi.”
“Tapi Na, Hasan kan masih punya ayah, ibu, sepupunya juga banyak yang bisa menggantikan dia menjaga adiknya. Tidak harus dia kan, yang penting adiknya ada yang menjaga. Lha kalau Betty, iya saya ngerti dia pengen ikut Olimpiade. Saya pun tahu dia nanti pengen kuliah jurusan Akuntansi. Tapi semestinya dia ngerti kondisi kita, panitia cuma 8 orang, apa sanggup ngurus peserta 200 orang, belum lagi urusan lain yang belum kelar.”
Sambil tetap menyunggingkan senyum, Ihsan memberi penjelasan ke Tyo. “Tyo, yang dibutuhkan Aisyah tidak hanya sekedar ada yang menjaga lantas semua beres. Tapi yang dibutuhkan itu sosok kakaknya. Semenjak kakak pertamanya, mbak Aida, kuliah dan kerja di Malang 2 tahun lalu, tinggal Hasan kakak yang menemani Aisyah di rumah. Selama ini kan tiap Senin-Sabtu dia numa bisa menjaga adiknya malam hari setelah Hasan sekolah dan bekerja. Berarti akhir pekan menjadi hak mereka berdua untuk bertemu.”
Ana juga menambahi, “Sedangkan Betty, kamu tahu kan berapa lama penantian Betty untuk bisa ikut Olimpiade. Akhir kelas satu kemaren gagal karena waktu penyisihan kecapekan habis kita kemah Ujian Bedge Ambalan. Awal semester kemaren dia juga gagal juga karena terbentur acara Persami (Perkemahan Sabtu Minggu) di Sendang, Tulungagung. Dan waktu itu dia lebih mementingkan Persami kita dari pada Olimpiade. Apa kamu tega dia harus gagal untuk ketiga kalinya?”
“Insya Allah seperti itu ya Tyo. Saya mohon kamu memahami kondisi mereka.”
Tyo menghela nafas. Ihsan dan Ana berharap Tyo bisa menerima penjelasan mereka. Tapi wajahnya masih terlihat sedikit gusar. “Maaf San, Na. Sepertinya saya masih belum sepenuhnya ikhlas menerima ijin dari mereka. Kalau saya jadi mereka, saya mungkin tetap kan berangkat PAB.”
“Ya sudah tidak apa-apa. Nanti jika sudah waktunya kamu akan ikhlas dengan sendirinya, insya Allah. Ini bentar lagi adzan, kita ke masjid dulu yuk.”
Di bawah teduh awan Sirostratus yang tampak begitu putih di sore hari, seorang laki-laki yang masih memakai seragam dengan semangat mengayuh sepeda hendak mengajar privat di rumah adik lesnya yang tidak jauh dari pusat kota. Dia adalah Hasan. Dia anak kedua dari 3 bersaudara. Kakak perempuannya Ana Nur Aida, sekarang berdomisili di Malang. Adik perempuannya Aisyah Chairunnisa. Tinggal dia dan adik perempuannya yang menemani kedua orang tuanya. Namun, sekarang Aisyah harus berbaring di rumah sakit karena sakit jantung. Aisyah cuti dari sekolahnya di SMAN 1 Kediri agar fokus dalam penyembuhan.
Andi, dia adalah teman sekelas Hasan dan Amel. Kelas XI IPA 3. Dia tidah bisa hadir PAB karena masalah akademik. Dia bermasalah dengan 4 mata pelajaran saat UAS minggu kemaren. Pelajaran Matematika, Kimia, Fisika, Bhs Inggris. Besok Sabtu dan minggu dia ada remidi + ada tugas tambahan 4 pelajaran itu. Semenjak dia aktif di Pramuka dan Pecinta Alam awal kelas 2 kemaren, akademiknya turun drastis.
Praktis panitia laki-laki hanya Ihsan, Aris, Fauzi, Jamil, dan Tyo. Sedangkan perempuan tinggal Ana, Amel, dan Rita.
Selasa malam 26 Juni 2007, PAB tinggal 3 hari lagi. Ada 2 berita gembira sekaligus yang masuk di HP Ihsan. Dari PERHUTANI, stok bibit untuk baksos penanaman pohon saat PAB sudah siap. Jum’at tinggal diambil. Dari pihak Buper Gunung Klothok, mereka sudah mengizinkan kami berkemah di sana dari Jum’at sore sampai Minggu sore. Berita ini langsung dia sms kan ke rekan-rekan Pramuka.
Hasan yang sedang di RS sangat lega mendengarnya, meskipun nanti dia tidak hadir saat acara. “Mas, nanti mas jadi ikut ke Klothok to? Ntar yang jaga Aisy siapa dong?” tanya Aisyah.
Sambil bercanda dan bermaksud menakut-nakuti Hasan bilang, “Ya ikut dong, itu 1 tahun sekali. Kalau njaga Aisy kan bisa ditunda.hehehe.”
Mendengar jawaban itu Aisy mau menangis, dia sudah hampir meneteskan air mata, buru-buru dicegat sama kakaknya. “Lho lho jangan nangis, Aisy, mas cuma bercanda kok. Masak mas tega ninggalin adik semata wayang mas yang paling cantik ini.hehehe” Hasan mendekat ke Aisy sambil mengusap kepalanya.
“Aiiiihhh, mas nyebelin.” Aisy jadi sedikit marah sambil memukul-mukul bahu kakaknya.
Rabu pagi, Tyo masih belum sreg dengan Hasan dan Betty. Dia merasa Hasan harusnya rela meninggalkan amanah menjaga adiknya pekan ini saja, demi teman-temannya panitia PAB. Dia hendak mendatangi kelas Hasan untuk menyampaikan keluh kesahnya.
“Assalamu’alaikum.. Hasan, saya mau ngobrol bentar. Boleh gak?”
Hasan sangat senang dengan kedatangan sahabatnya itu. Sambil tersenyum Hasan langsung mengiyakan. “Wa’alaikumsalam.. oh monggo-monggo. Didepan kelas aja ya, biar sejuk.”
Pagi itu kebetulan guru-guru masih ada rapat mendadak, sehingga belum ada aktifitas KBM.
“Ada apa Tyo? Ada yang bisa saya bantu?”
“Gini San, to the point aja ya. Saya belum menerima keputusanmu untuk tidak ikut PAB besok. Kamu tahu kan panitia cuma 8 orang. Jumlah segitu mana cukup untuk menangani peserta, perlengkapan, baksos, dll. Bisa gak kamu tinggalkan sejenak adik kamu pekan ini saja?”
Mendapatkan pertanyaan seperti itu Hasan langsung merasa bersalah. Dia tidak mau menjadi sumber kekacauan di internal panitia.
“Tyo, kamu masih punya ayah kan?”
“Ya Alhamdulillah masih San, kenapa?”
“Kalau misal ayahmu meminta kamu mijitin kakinya. Apa yang kamu lakukan?”
“Ya jelas lah, saya langsung mijit kakinya.”
“Kalau misal saat ayahmu meminta itu kamu hendak berangkat ngaji ke rumah ustad. Kamu milih tetap mijitin ayah, dengan resiko telat ngaji atau bahkan tidak bisa hadir kalau misal ayamu minta mijitnya lama. Atau kamu milih minta orang lain, misal ibumu atau sepupumu buat mijitin ayahmu. Pilih mana?”
Hasan menambahi penjelasan, “Mohon maaaaaf sekali, kamu sahabat terbaikku. Saya tidak mau gara-gara saya persahabatan kita menjadi rusak. Saya berusaha yang terbaik untuk adikku dan Pramuka. Siapa yang mau adiknya sakit. Kalau saya Nabi Musa, saya akan langsung minta Allah menyembuhkan adik saya agar bisa ikut PAB. Adikku, Aisya, semakin hari kondisinya semakin parah. Bahkan kata dokter jantung Aisy sudah kronis. Diperkirakan usianya kurang lebih tinggal dari 1 tahun, bahkan bisa kurang dari itu.”
Tyo terdiam membisu mendengar penjelasan dari Hasan. Dia meresapi tiap tutur kata Hasan, dan sdikit terbersit rasa bersalah karena terus memaksa Hasan.
“Tyo, sebetulnya informasi tadi rahasia. Tapi untuk menjaga hubungan persahabatan kita saya harus menceritakannya padamu.”

bersambung.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar