Teeet… Teeeeet… Bel tanda pulang sekolah telah
berbunyi, para siswa berbondong-bondong keluar kelas untuk kembali beraktifitas
usai kegiatan belajar mengajar di sekolah. Mayoritas dari mereka tidak langsung
pulang, ada yang ke kantin untuk mengisi perut, ada yang nongkrong di depan
kelas, bahkan ada yang berduaan di taman, biasa anak muda. Ada sekelompok siswi
yang berjilbab lebar berbondong-bondong ke masjid, sepertinya akan ada ta’lim
siang ini. Ada juga beberapa siswa yang masih di kelas untuk mendiskusikan
kembali pelajaran yang telah diajarkan gurunya hari ini… Begitulah kehidupan
siswa-siswa MAN 3 Kediri.
Di sudut lain di sekolah ini, tepatnya di selatan
masjid, tampak bangunan yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang gemar
rapat, diskusi, bikin agenda, dll. Bangunan itu menjadi base camp atau sekretariat organisasi-organisasi di sekolah. Di
situ lah para aktifis organisasi berkumpul. Ruangan paling pojok timur dari
sekretariat adalah Sanggar Pramuka. Kawan, di sanggar inilah cerita ini
dimulai…
Satu setengah jam telah berlalu, 10 menit lagi gema
adzan ashar akan tiba.. “Hmm, baiklah teman-teman, insya Allah apapun yang
terjadi pada kita Allah sudah memberikan hikmah, baik kita sadari maupun tidak.
Karena ini mau ashar, kita akhiri rapat hari ini dengan bacaan Hamdalah bersama-sama.”
Ucap Ihsan, ketua Pramuka MAN 3 Kediri.
Tampak ekspresi yang berbeda-beda dari tiap peserta
rapat di sanggar itu. Yang paling emosi tentunya, Tyo. Dia adalah anggota
pramuka yang paling temperament. “Kok bisa, organisasi apaan ni. Masak rapat
sepenting ini isinya curhat doang. Kalo bukan karena paksaan ibu saya, saya
udah keluar dari pramuka sejak dulu.”
Tyo marah-marah tidak jelas di depan sanggar. Aris yang berdiri di sampingnya
menyahut. “Tyo, coba duduk dulu.” Tyo yang diminta duduk malah menatap Aris
dengan tajam. Sambil senyum Aris kembali mengingatkan, “Duduklah dulu, insya
Allah kamu bisa tenang kalau duduk.” Setelah Tyo duduk, barulah dia merasa
sedikit lega. Ternyata benar sabda Rosulullah, “Apabila salah seorang diantara kalian marah
sedangkan ia dalam posisi berdiri, maka hendaklah ia duduk…”
Ihsan pun menghampiri
Tyo yang kelihatan masih menahan amarah. “Tyo, ada yang mau kamu sampaikan?
Sampaikan saja, insya Allah tidak akan ada yang mempermasalahkan. Apakah kamu
belum puas dengan hasil rapat tadi?”
“San, kamu sih jadi pemimpin gak tegas. Terlalu
toleran. Masak kegiatan kemah gedhe gitu panitia yang bisa datang cuma 8 orang.
Jangan main-main dong, apa kata adek kelas kalau kakaknya tidak karuan begini.”
Ihsan merangkul pundak temanya itu, “Tyo, saya mengerti perasaanmu. Kamu adalah
salah satu partnerku di Pramuka yang paling baik, kamu juga yang dulu selalu
mendampingiku saat awal saya belajar pramuka. Saya baru kenal pramuka saat di
MAN ini sedangkan kamu sejak SD sudah dididik ibumu yang Pembina Pramuka di SD
kamu. Melihat tekadmu di pramuka yang seperti itu, seandainya sekarang saya
diposisi kamu mungkin saya juga akan merasakan hal yang sama. Tidak disiplin,
tidak komitmen, seolah-olah organisasi cuma buat numpang nama saja. Tapi apakah
dengan marah tiba-tiba mereka datang begitu saja, apakah dengan kamu marah tiba-tiba
masalah bisa selesai. Saya sudah usahakan dan sampai H-1 pun saya akan tetap
usahakan agar banyak yang hadir. Kan anggota panitia kita cuma 11 orang. Tadi
waktu rapat yang fiks tidak hadir cuma Hasan, Andi, dan Betty, yang 8 orang
lain insya Allah bisa.”
“Tapi San, mohon maaf sebelumnya, tanpa bermaksud mengurangi
rasa hormatku kepadamu sebagai pemimpinku. Coba kamu ingat lagi San, syar’i gak
alasan 3 orang tadi. Si Hasan, Amel, dan Betty.”
“Lha menurut kamu, alasan mereka tadi syar’i gak?” Ihsan
bertanya balik.
“Menurutku sih Hasan dan Betty tu kurang syar’i.
mereka terlalu membesarkan masalah aja.”
Rita yang mendengat percakapan mereka jadi ikut
panas, ”Udahlah San, ndak usah kamu ladeni si Tyo ini. Bikin keruh aja
persahabatan kita nanti. Dan kau Tyo, kalau kamu memang gak terima yang ngomong
aja langsung ke mereka bertiga. Jadi cowok yang gentle dong!”
“Apaan kamu Rit, jangan bikin saya tambah emosi!”
Tyo kelihatan semakin merah mukanya.
“Emang kenapa Tyo, kamu mutung, mau ikut-ikutan gak ikut.
Ya udah gak usah ikut, gak ada kamu malah seneng saya.” Rita pun semakin emosi.
“KAMU NANTANGIN SAYA!!!” Tyo marah sambil berdiri
dan hendak mendatangi Rita.
“Astaghfirullahal ‘adhiim. Tyo, istighfar Tyo. Kamu
jangan kasar begitu ke perempuan. Jangan sampai amarahmu membuat harga dirimu
sebagai laki- laki hilang.” Jamil mengingatkan dengan agak keras.
“Heh, Tyo. Gila kamu, masak ngajak Rita berantem,
dia cewek bro. Kalau mau berantem ngajak genderuwo sana di sawah banyak.” Fauzi
yang melihat kejadian itu ikut melerai mereka.
“Rit, kamu itu lho, jangan membuat Tyo tambah marah
begitu.” Sahut Amel sambil mendorong
Rita menjauh dari Tyo.
Suasana menjadi semakin kacau di antara mereka.
Padahal acara Penerimaan Anggota Baru (PAB) Pramuka tinggal 8 hari lagi. Dana
belum cair, tempat yang rencananya di Buper Gunung Klothok masih belum fiks, bakti
sosial belum dapat bibit, dan PR yang menumpuk lain. Pun demikian dengan sdm,
acara yang dihadiri 200 siswa tahun pertama itu sejatinya butuh banyak panitia,
tetapi menjelang hari-H ada 3 orang panitia yang ijin tidak datang.
Mendengar mereka berdua ngobrol, Ana selaku Ketua
Putri Pramuka ikut membantu Ihsan menjelaskan ke Tyo. “Tyo, kenapa kamu merasa
alasan Hasan dan Betty tidak syar’i. Bukankan mereka tadi sudah mengemukakan udzur
mereka dengan jelas. Hasan, adik perempuannya, Aisyah, sedang sakit keras di RS
Bhayangkara. Kamu tahu kan hubungan antara Hasan dan Aisyah sangat dekat.
Betty, dia mau mengejar cita-citanya. Dia harus berangkat ke Surabaya untuk
mewakili MAN dalam Olimpiade Sains bidang Akuntansi.”
“Tapi Na, Hasan kan masih punya ayah, ibu, sepupunya
juga banyak yang bisa menggantikan dia menjaga adiknya. Tidak harus dia kan,
yang penting adiknya ada yang menjaga. Lha kalau Betty, iya saya ngerti dia
pengen ikut Olimpiade. Saya pun tahu dia nanti pengen kuliah jurusan Akuntansi.
Tapi semestinya dia ngerti kondisi kita, panitia cuma 8 orang, apa sanggup
ngurus peserta 200 orang, belum lagi urusan lain yang belum kelar.”
Sambil tetap menyunggingkan senyum, Ihsan memberi penjelasan
ke Tyo. “Tyo, yang dibutuhkan Aisyah tidak hanya sekedar ada yang menjaga
lantas semua beres. Tapi yang dibutuhkan itu sosok kakaknya. Semenjak kakak pertamanya,
mbak Aida, kuliah dan kerja di Malang 2 tahun lalu, tinggal Hasan kakak yang
menemani Aisyah di rumah. Selama ini kan tiap Senin-Sabtu dia numa bisa menjaga
adiknya malam hari setelah Hasan sekolah dan bekerja. Berarti akhir pekan
menjadi hak mereka berdua untuk bertemu.”
Ana juga menambahi, “Sedangkan Betty, kamu tahu kan
berapa lama penantian Betty untuk bisa ikut Olimpiade. Akhir kelas satu kemaren
gagal karena waktu penyisihan kecapekan habis kita kemah Ujian Bedge Ambalan.
Awal semester kemaren dia juga gagal juga karena terbentur acara Persami
(Perkemahan Sabtu Minggu) di Sendang, Tulungagung. Dan waktu itu dia lebih
mementingkan Persami kita dari pada Olimpiade. Apa kamu tega dia harus gagal
untuk ketiga kalinya?”
“Insya Allah seperti itu ya Tyo. Saya mohon kamu
memahami kondisi mereka.”
Tyo menghela nafas. Ihsan dan Ana berharap Tyo bisa
menerima penjelasan mereka. Tapi wajahnya masih terlihat sedikit gusar. “Maaf
San, Na. Sepertinya saya masih belum sepenuhnya ikhlas menerima ijin dari
mereka. Kalau saya jadi mereka, saya mungkin tetap kan berangkat PAB.”
“Ya sudah tidak apa-apa. Nanti jika sudah waktunya kamu
akan ikhlas dengan sendirinya, insya Allah. Ini bentar lagi adzan, kita ke
masjid dulu yuk.”
Di bawah teduh awan Sirostratus yang tampak
begitu putih di sore hari, seorang laki-laki yang masih memakai seragam dengan
semangat mengayuh sepeda hendak mengajar privat di rumah adik lesnya yang tidak
jauh dari pusat kota. Dia adalah Hasan. Dia anak kedua dari 3 bersaudara. Kakak
perempuannya Ana Nur Aida, sekarang berdomisili di Malang. Adik perempuannya
Aisyah Chairunnisa. Tinggal dia dan adik perempuannya yang menemani kedua orang
tuanya. Namun, sekarang Aisyah harus berbaring di rumah sakit karena sakit
jantung. Aisyah cuti dari sekolahnya di SMAN 1 Kediri agar fokus dalam
penyembuhan.
Andi, dia adalah teman sekelas Hasan dan Amel. Kelas
XI IPA 3. Dia tidah bisa hadir PAB karena masalah akademik. Dia bermasalah
dengan 4 mata pelajaran saat UAS minggu kemaren. Pelajaran Matematika, Kimia,
Fisika, Bhs Inggris. Besok Sabtu dan minggu dia ada remidi + ada tugas tambahan
4 pelajaran itu. Semenjak dia aktif di Pramuka dan Pecinta Alam awal kelas 2
kemaren, akademiknya turun drastis.
Praktis panitia laki-laki hanya Ihsan, Aris, Fauzi,
Jamil, dan Tyo. Sedangkan perempuan tinggal Ana, Amel, dan Rita.
Selasa malam 26 Juni 2007, PAB tinggal 3 hari lagi.
Ada 2 berita gembira sekaligus yang masuk di HP Ihsan. Dari PERHUTANI, stok
bibit untuk baksos penanaman pohon saat PAB sudah siap. Jum’at tinggal diambil.
Dari pihak Buper Gunung Klothok, mereka sudah mengizinkan kami berkemah di sana
dari Jum’at sore sampai Minggu sore. Berita ini langsung dia sms kan ke
rekan-rekan Pramuka.
Hasan yang sedang di RS sangat lega mendengarnya,
meskipun nanti dia tidak hadir saat acara. “Mas, nanti mas jadi ikut ke Klothok
to? Ntar yang jaga Aisy siapa dong?” tanya Aisyah.
Sambil bercanda dan bermaksud menakut-nakuti Hasan
bilang, “Ya ikut dong, itu 1 tahun sekali. Kalau njaga Aisy kan bisa
ditunda.hehehe.”
Mendengar jawaban itu Aisy mau menangis, dia sudah
hampir meneteskan air mata, buru-buru dicegat sama kakaknya. “Lho lho jangan
nangis, Aisy, mas cuma bercanda kok. Masak mas tega ninggalin adik semata
wayang mas yang paling cantik ini.hehehe” Hasan mendekat ke Aisy sambil
mengusap kepalanya.
“Aiiiihhh, mas nyebelin.” Aisy jadi sedikit marah
sambil memukul-mukul bahu kakaknya.
Rabu pagi, Tyo masih belum sreg dengan Hasan dan
Betty. Dia merasa Hasan harusnya rela meninggalkan amanah menjaga adiknya pekan
ini saja, demi teman-temannya panitia PAB. Dia hendak mendatangi kelas Hasan
untuk menyampaikan keluh kesahnya.
“Assalamu’alaikum.. Hasan, saya mau ngobrol bentar.
Boleh gak?”
Hasan sangat senang dengan kedatangan sahabatnya
itu. Sambil tersenyum Hasan langsung mengiyakan. “Wa’alaikumsalam.. oh
monggo-monggo. Didepan kelas aja ya, biar sejuk.”
Pagi itu kebetulan guru-guru masih ada rapat
mendadak, sehingga belum ada aktifitas KBM.
“Ada apa Tyo? Ada yang bisa saya bantu?”
“Gini San,
to the point aja ya. Saya belum menerima keputusanmu untuk tidak ikut PAB
besok. Kamu tahu kan panitia cuma 8 orang. Jumlah segitu mana cukup untuk
menangani peserta, perlengkapan, baksos, dll. Bisa gak kamu tinggalkan sejenak
adik kamu pekan ini saja?”
Mendapatkan pertanyaan seperti itu Hasan langsung
merasa bersalah. Dia tidak mau menjadi sumber kekacauan di internal panitia.
“Tyo, kamu masih punya ayah kan?”
“Ya Alhamdulillah masih San, kenapa?”
“Kalau misal ayahmu meminta kamu mijitin kakinya.
Apa yang kamu lakukan?”
“Ya jelas lah, saya langsung mijit kakinya.”
“Kalau misal saat ayahmu meminta itu kamu hendak
berangkat ngaji ke rumah ustad. Kamu milih tetap mijitin ayah, dengan resiko
telat ngaji atau bahkan tidak bisa hadir kalau misal ayamu minta mijitnya lama.
Atau kamu milih minta orang lain, misal ibumu atau sepupumu buat mijitin
ayahmu. Pilih mana?”
Hasan menambahi penjelasan, “Mohon maaaaaf sekali,
kamu sahabat terbaikku. Saya tidak mau gara-gara saya persahabatan kita menjadi
rusak. Saya berusaha yang terbaik untuk adikku dan Pramuka. Siapa yang mau
adiknya sakit. Kalau saya Nabi Musa, saya akan langsung minta Allah
menyembuhkan adik saya agar bisa ikut PAB. Adikku, Aisya, semakin hari
kondisinya semakin parah. Bahkan kata dokter jantung Aisy sudah kronis.
Diperkirakan usianya kurang lebih tinggal dari 1 tahun, bahkan bisa kurang dari
itu.”
Tyo terdiam membisu mendengar penjelasan dari Hasan.
Dia meresapi tiap tutur kata Hasan, dan sdikit terbersit rasa bersalah karena
terus memaksa Hasan.
“Tyo, sebetulnya informasi tadi rahasia. Tapi untuk
menjaga hubungan persahabatan kita saya harus menceritakannya padamu.”
bersambung.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar