Waktu saya baca koran Jawa Pos hari Sabtu, 31 Februari 2012. Ada berita Yang menggemparkan dan mengejutkan dunia. What is
that??? Saudara-saudara, yang
mengejutkan adalah Manchester United dikalahkan oleh tim kuda hitam Athletic
Bilbao dengan skor 2-3. Dan yang menggemparkan adalah kekalahan MU itu dialami
di markasnya sendiri, Old Traffod. Wow! Fantastis bukan. MU yang notabene ada
pemain senior di liga dan pemain top kelas dunia, bisa-bisanya bertekuk lutut
dihadapan tim yang rata-rata pemainya berusia masih 23 tahun dan tidak terkenal
pula
Saya jadi tertarik untuk menganalisa
Athletic Bilbao yang menghantam Setan Merah itu. Tim ini berlokasi di propinsi
Basque, sebuah propinsi yang terkenal oposisinya pemerintah Spanyol. Athletic
Bilbao adalah 1 dari 3 klub di Liga Primera Spanyol yang seumur hidup belum
pernah terdegradasi ke divisi dua, klub yang lain adalah Barcelona dan Real
Madrid. Yang membuat saya kagum dengan Bilbao adalah sistem Kaderisasinya.
Mereka membuat kebijakan Cantera. Itu adalah sebuah sistem yang mengutamakan
pembinaan pemain muda secara berjenjang dari pada belanja pemain yang sudah jadi. Bagi mereka “mencetak” lebih
prioritas daripada “boros”. Kader-kader muda Basque dididik di akademi
sepakbola milik Athletic Bilbao yang namanya akademi Lezama. Pembinaan yang dilakukan bener-bener terprogram dan
berjenjang. Ibarat aktifis dakwah, kurikulum tiap Marhalahnya sangat tepat. Kebijakan
ini sudah berlaku sejak awal mereka bergabung di Liga Spanyol pada tahun 1928
silam. Yang lebih spesifik tentang
sistem Cantera, kriteria pemain yang berhak masuk tim Athletic Bilbao adalah :
Þ
Pemain
yang lahir dan besar di propinsi Basque.
Þ
Pemain yang sudah bermain di klub lain, tetapi
asli kelahiran Basque.
Þ
Pemain dari luar Spanyol, tetapi dididik di
akademi Lezama.
(arek Lezama lagi latihan)
Kita kupas satu per satu yuk,,,
1.
Pemain yang lahir
dan besar di propinsi Basque.
Ini kebijakan yang benar-benar mengutamakan kader pribumi
untuk menjadi pemain dalam tim. Beberapa bahkan banyak tim lain yang lebih
condong menggunakan pemain luar daerah, bahkan luar negeri karena di pandang
lebih matang. Mereka mungkin bilang gini, “Kalau temen sekampung ada, ngapain
nyari di luar kampung??”. Mantap gan!
Kebijakan yang cukup nyleneh ini mempunyai dampak yang
positif bagi pemuda-pemuda Basque maupun Timnas Spanyol. Dengan adanya
kebijakan ini maka Spanyol tidak akan pernah kekurangan pemain-pemain
berbakatnya. Hasilnya bisa dilihat Spanyol merajai di dunia bal-bal an. Dari
Piala Eropa 2008 sampai Piala Dunia 2010 berhasil direbutnya. Pemain asli
Basque telah berhasil naik kelas ke kancah internasional, misal Asier del Horno
dan Fran Yeste. Yang membanggakan adalah saat Asier del Horno tahun 2005
direkrut sama Jose Mourinho untuk bermain di Chelsea, sangar rek! Bisa maen
bareng Lampard.
2.
Pemain yang sudah bermain di klub lain, tetapi asli
kelahiran Basque.
Sistem ini dibuat untuk mengantisipasi seandainya ada
pemain asli Basque yang pada awalnya bermain di klub lain, tetapi ingin
berkontribusi di Bilbao, tanah kelahiran mereka. Ibarat gini, ada pemain asli
Kediri yang lagi main di Persija Jakarta, kemudian dia ingin ke Persik. Hal ini
sangat diperbolehkan oleh manajemen Athletic Bilbao. Contohnya adalah Joseba Etxeberria dan Javi Martinez. Mereka pemain Osasuna yang
asli Basque yang kemudian direkrut Athletic Bilbao. Contoh lain ada Andreas Hererra, pemain asli Basque yang
dibeli dari di Real Zaragoza.
Pemain pemain tersebut biasanya besarnya di kota lain
meskipun lahir di Basque. Mereka ikut
akademi sepak bola klub lain dan bergabung dengan mereka, kemudian dibeli oleh
Athletic Bilbao. Missal Jose
Exteberria, dia adalah didikan akademi Osasuna dan masuk tim inti Osasuna.
3.
Pemain dari luar Spanyol, tetapi dididik di akademi Lezama.
Athletic Bilbao
juga memiliki pemain yang berasal dari negara lain. Biasanya mereka imigran
dari suatu negara yang menetap di Basque. Contoh pemain imigran yang paling
tenar mungkin Zidane, imigran dari Aljazair yang menetap Prancis.
Mereka
“diadopsi” oleh para Scout (pencari
bakat) utusan Bilbao yang melihat permainan mereka di tempat mereka tinggal,
kemudian direkrut untuk dididik di akademi Lezama, dan saat sudah matang mereka
bisa memulai karir profesionalnya di Athletic Bilbao. Diantara pemain-pemain
tersebut adalah Roberto Lopez Ufarte, yang kelahiran Maroko. Contoh lain ada Yanis Rahmani dan Maecki
Lubrano, yang asli Prancis dan
menimba ilmu di Lezama. Mereka bertiga kini telah bermain profesional di tim
inti Athletic Bilbao.
Saudara-saudara, tidak banyak klub sepak
bola yang benar-benar mengandalkan pasukan asli cetakan pabrik sendiri. Baik klub
dari Liga Internasional maupun Liga Indonesia, banyak yang musti merogoh kocek banyak
untuk membeli pemain. Kita tengok Real Madrid, tim kompatriotnya Bilbao. Madrid
untuk membeli Zidane dari Juventus ngeluarin 76 juta euro, alias 912
Miliar Rupiah saudara-saudara. Jangan kuatir, Madrid sampai saat ini memegang
rekor beli ter-‘boros’ di dunia, saat beli Pakdhe Cristiano Ronaldo dari MU,
mereka ngambil duit dari ATM sebesar 94 juta euro, alias 1,12 Trilliun Rupiah.
Itu uang atau daun??
Tim yang
berani mendidik pemain sendiri itulah yang berjiwa entrepreneur dan mandiri.
Dari pada beli beras di pasar, mereka lebih suka beli bibit, ditanam sendiri,
diolah, kalau sudah matang dipanen dan tinggal dinikmati. Dari pada beli makan
di warung, mereka lebih suka beli bahan mentah kemudian dimasak sendiri
semaunya, hasilnya bisa dinikmati sepuasnya.
Fenomena
‘mandiri’ tersebut memang masih barang angka di dunia sepak bola, tim yang
memiliki produk akademi yang berkualitas selain Bilbao, yang saya tahu baru MU,
Barcelona, Ajax, dan Manchester City. Kita tahu bersama kualitas lulusan
akademi MU angkatan ’92, ada Giggs, Butt, Beckham, Neuville bersaudara, dan
Scholes. Ini dia tersangkanya:
(pakde Giggs jek enom rek)
Banyak
keuntungan ketika merekrut pemain asli didikan akademi klub sendiri. Ada 3 yang
saya tangkap :
1.
Memudahkan negara tersebut untuk mencari pemain di tim nasional.
2.
Menghemat pengeluaran klub, bahkan gratis.
3.
Menemukan pemain yang berkualitas yang mungkin tersembunyi di suatu tempat.
Seandainya
konsep berpikir ini diterapkan di Negara kita tercinta. Maka sesungguhnya,
tidak perlu ada pemain naturalisasi di timnas Indonesia, sebutlah si X dan si
Y. Saya bukan bermaksud menyalahkan si X dan si Y lho rek, saya hargai
keinginan mereka untuk pindah kewarganegaraan. Tapi yang saya sayangkan adalah
orang atasnya (pelatih, manager, dkk). Mengapa mereka memprioritaskan pemain
asing dari pada pemain asli Indonesia. Saya tidak berhak men-judge karena tidak
tahu masalah yg real, tapi sendainya boleh bertanya, apakah sulit mencari 11
pemain terbaik dari total penduduk laki-laki Indonesia 119.630.913 jiwa (SP2010)??? Plis deh.. di Kediri banyak githoe… (berlagak endhel)
Sebetulnya
kaidah akademi sepak bola ini bisa kita terapkan dalam dakwah kampus. Algoritma
kaderisasi sepak bola kan gini :
Nah,
kalo dalam kaderisasi Lembaga Dakwah Kampus, skema tersebut tinggal kita tiru
lalu kita ganti objek, pemain bola kita ganti mahasiswa. Akademi kita ganti
Lembaga Dakwah. Klub yang mendapat pemain dari membeli, berarti dia mencari
yang sudah matang, lias dimatangkan di tempat lain. Sedangkan klub yang
mendapat pemain dari hasil didikan sendiri, berarti pemain itu berawal dari
sangat pemula sekali, trus dididik sendiri sampai matang. Nah, bangga mana
coba?? Pemain beli atau didikan sendiri??
Ketika
suatu Lembaga Dakwah Kampus (terutama Negeri) yang terbilang besar, mereka
berusaha sekuat tenaga mencari mahasiswa yang sudah matang atau setengah
matang. Yakni mereka yang telah dididik / dimatangkan di Rohis SMA. Mereka itu
sudah liqo’ lama, udah ngerti ana antum, celana cingkrang, jilbab syar’i,
pokoknya bukan orang baru di dunia dakwah. Gak pa-pa emang, bahkan suatu
kebutuhan juga mengandalkan produk didikan SMA yang sudah ataupun semi matang.
Toh MU juga tidak semua pemainnya didikan sendiri, MU pernah merekrut pemain
yang dimatangkan tim lain, kayak Berbatov (dimatangkan Tottenham), Teves (Boca
Junior), juga Nistelrooy (PSV). Mahasiswa baru yang sudah matang, bisa kita
posisikan sebagai “Pembawa Bendara Perang” karena sudah punya ilmu, mental, dan
pengalaman “lebih awal” dari pada yang masih amah dan hanif. Diharapkan mereka
mampu menjadi teladan bagi saudara-saudara yang masih belum biasa ngomong ana
antum akhi ukhti...
Akan
tetapi saudara, tidakkah kita akan LEBIH BANGGA ketika kita mampu mencetak
kader asli didikan Sistem Kaderisasi LDK kita tercinta. Mereka-mereka yang
berawal dari hobi hedon menjadi sering ke masjid, celana bolong-bolong jadi
rajin tilawah, suka pacaran jadi hobi syuro’. Sungguh indah kawan. Memang sih
butuh tenaga lebih extra. Kaderisasi yang berobjek amah dan hanif inilah yang
sesuai dengan Algoritma Kaderisasi sepak bola yang saya tulis di atas. Bagi
yang sudah ADK, kita bisa menjadi layaknya Scout
dalam akademi sepak bola. Kita bertebaran di penjuru kampus (minimal
jurusan sendiri) untuk mencari kader-kader yang punya potensi tinggi untuk kita
ajak bareng menimba ilmu di LDK. Mereka adalah maba yang masih amah dan hanif.
Di sinilah Dakwah Fardiyah muncul. Kemampuan
kita berdakwah secara personal diuji. Kemampuan dalam hal keteladanan,
kemampuan berbicara sesuai karakter objek, kemampuan memposisikan duduk dan
berdiri, kemampuan senyum, kemampuan untuk mengenal karakter objek dakwah, dan
tak lupa follow up pasca ta’aruf pertama. Klo gak di-follow up sama aja bohong.
Carannya how? Baca aja bukunya Syeikh Abbas Azizi, Ath Thoriq Illal Quluub.
(ini dia bukunya, versi
Indo)
Saudara-saudara,
sekian dulu ya. Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan dengan tulisan saya.
Saya cuma menggabungkan dua hobi saya. Sepak bola dan dakwah..
Jazakumullah
khairan katsiran….
Saya sangat setuju dengan artikelnya gan , saya berpikir "ada gak yah orang Indonesia yang membuat artikel tentang akademik sepak bola Bilbao yang memang katanya salah satu yang terbaik" eh ternyata ada dan langsung nyasar ke blog ini , coba dong gan analisa akademi sepak bola Atalanta Bergamo hehe !
BalasHapus